sawitsetara.co – JAKARTA – Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia terkejut atas hasil pengumuman kelulusan beasiswa sawit yang diseleksi oleh LPP Yogyakarta rekanan dari Kementerian Pertanian kerja sama dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS).
Pasalnya anak-anak petani sawit yang mengikuti seleksi beasiswa sawit itu sangat berharap banyak bisa meningkatkan SDM tentang sawit dan manajemen.
Sejak Juni kemarin riak dan semangat anak petani serta dukungan orang tua yang berharap putra/putri mereka dapat lulus mengikuti seleksi nasional beasiswa Sumber Daya Manusia (SDM) Perkebunan Kelapa Sawit (PKS) tahun 2022. Mulai dari tahap administrasi sampai ke tes potensi akademik berbagai macam rintangan yang dilalui anak petani dari Aceh sampai Papua, tidak hanya soal jaringan internet dari daerah yang tak mumpuni masuk jaringan bahkan untuk menggunakan komputer ada banyak anak petani tak mampu mengakses dan memerlukan panduan untuk memulai ujian tersebut. Belum lagi seleksi yang terakhir yang sangat awam bagi anak-anak kampung yaitu tes psikologis.
“Forum Mahasiswa Sawit (FORMASI) Indonesia sebagai organisasi anak-anak petani sawit, di 142 Kampus, sangat menyayangkan hasil pengumuman seleksi beasiswa sawit oleh BPDP-KS. Padahal beasiswa sawit ini harusnya diprioritaskan kepada anak-anak petani sawit yang di kampung-kampung. Beasiswa ini adalah bersifat ‘terbatas’. Konsep terbatas itu harusnya menjadi potensi bagi anak-anak petani sawit yang tidak mempunyai peluang di seleksi umum masuk perguruan tinggi. Namun faktanya justru petaka bagi adik-adik kami, karena justru keterbatasan adik-adik kami menjadi ‘penyingkir’ mereka di seleksi beasiswa ini,” kata Amir Arifin Harahap, Ketua Umum DPP FORMASI Indonesia.
“Saya mengikuti proses awal seleksi ini, jadi saya berkesimpulan bahwa filosofi dan roh dari beasiswa ini tidak dimengerti oleh LPP Yogyakarta. Masa anak-anak kami dibuat seperti seleksi calon asisten kebun PTPN,” ujar Amir dengan kesal.
“Kami meminta Pihak Kementerian Pertanian, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman segera mengevaluasi tata cara seleksi tahun ini. Hal ini tidak boleh terulang tahun depan,” ujar Amir.
“Ke depan kita minta rekrutmennya diserahkan ke kampus-kampus Mitra BPDP-KS saja, tidak usah pakai penunjukan ke Lembaga tertentu. Menurut catatan kami, bahwa awal-awal beasiswa ini ada sangat bagus pelaksanannya dan tidak ada gejolak, namun sejak tiga tahun terakhir ugal-ugalan,” kata Amir yang juga mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Riau.
“Kami tidak ingin menyalahkan siapapun, namun jika tahun depan masih diulang lagi seperti tahun ini dan dua tahun sebelumnya, maka kami Formasi Indonesia di 142 Kampus, akan demonstrasi ke Kantor Kementan dan BPDP-KS. Banyak sekali memang persoalan di sektor perkebunan sawit rakyat ini, mulai dari kawasan hutan, pupuk mahal, PSR, hilirisasi, dan semua permasalahan ini membutuhkan SDM petani ke depannya dan peluang kami hanya di beasiswa ini,” kata Amir.
“Soal ujian yang sama seperti umum juga harus dievaluasi, padahal ini beasiswa sawit harusnya soalnya lebih dominan mengarah ke sawit. Bahkan sistem ujian yang berbasis online itu jadi masalah utama bagi anak-anak petani sawit. Namanya petani sawit pasti di kampung mana ada sawit di kota, tentu jaringan internet terbatas dan listrik yang hidup hanya saat malam pulak,” cetus Amir.
“Inilah salah satu faktor kenapa seleksi beasiswa sawit ini harus diserahkan ke kampus-kampus penerima. Kalau sistem ujiannya tetap seperti yang dilakukan LPP Yogyakarta maka anak-anak petani sawit yang notabenenya berada di kampung akan kalah dengan anak-anak pada umumnya di perkotaan yang tidak terkendala dengan jaringan internet,” ujarnya
“Kami berharap Ketua Umum dan Sekjend DPP APKASINDO segera berkoordinasi ke Kementerian Pertanian dan BPDP-KS untuk pola dan metode seleksi tahun 2023, kami yakin Bang Ketum dan Sekjend bisa menjadi jembatan untuk perbaikan tahun depan,” tutur Amir.
Jur: Devi Daulay/Red: Maria Pandiangan