sawitsetara.co – ISLAMABAD – Banyak anggapan bahwa EU itu crewet tapi sedikit beli, tapi Pakistan lebih mengedepankan harga cocok. Anggapan ini akhirnya terkuak di Islamabad, Pakistan.
Kehadiran Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) di Islamabad ternyata membangun paradigma real bagi importir minyak sawit nomor tiga, Pakistan. Diketahui bahwa APKASINDO diundang oleh Kedutaan Besar (Kedubes) Indonesia untuk Pakistan menjadi pembicara utama pada seminar Internasional “Sustainibillity of Palm Oil Industry and Its Derivative Products” yang diadakan oleh Kedutaan Besar Indonesia di Pakistan di Islamabad.
Djono A Burhan, S.Kom.,MMgt (Int Bus), CC,CL yang merupakan Alumni Magister The University of Auckland, New Zealand, menyampaikan dengan rinci “peran petani sawit tidak tersampingkan dan sangat strategis untuk tiga dimensi keberlanjutan sekaligus, dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan”.
Ke sawitsetara.co, Djono mengatakan menarik dan rasional cara berpikir konsumen CPO di Pakistan.
“Kami ini konsumen minyak sawit Indonesia dan kami percaya Indonesia komit menjaga keberlanjutan tanpa harus sertifikasi namun yang penting bagi kami adalah harga” ujar Djono menirukan statemen salah seorang penanya.
Atas pernyataan tersebut teringatlah saya statemen Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP., C.IMA pada saat seminar nasional di Jakarta, yang mengatakan bahwa permintaan konsumen minyak sawit itu bermacam-maca maka itu kita harus menyediakan macam-macam tersebut dan macam-macam tersebut berhubungan ke harga. Untuk itu Indonesia harus bergerak cepat menyediakan macam-macam tersebut dan jangan kaku atau absolute tapi harus filosofi relatif. Relatif itu maksudnya dengan meng clusterkan minyak sawit Indonesia seperti ada yang sertifikasi diamon, gold, silver dan iron. Jadi tergantung uang si pembeli kata kuncinya. Jadi terbukti semua apa yang dikatakan Pak Ketum Gulat” ujar Djono menirukan.
Tadi saat acara diskusi dengan Chairman Pakistan Edible Oil Refiners Association sekaligus Director of Dalda Foods, Mr.Abdul Rasheed JanMohammad, B.Com, LLM.
Beliau mengatakan bahwa Pakistan itu pra sensitif jadi beliau mengatakan sekarang ada RSPO tapi produsen makanan dan konsumen di Pakistan itu terlalu memikirkan misalnya harga minyak sawit yang RSPO USD $570 dan tidak RSPO USD $559, selisih harga ini mengakibatkan konsumen cenderung membeli yang non RSPO.
”Meskipun selisihnya tidak jauh yang selisihnya cuma USD $20 produsen di Pakistan akan memilih ke yang non RSPO. Karena mereka lebih memikirkan harga dan memikirkan bagaimana menekan biaya produksi untuk bisa menjual produk ke konsumen dengan harga terjangkau. Jadi Urusan bagaimana menghasilkan CPO (hulu) mereka percaya dengan Indonesia bagaimana caranya” ujar Djono.
Dunia sangat membutuhkan minyak sawit karena sawit merupakan salah satu kebutuhan pangan vital dunia dan berguna untuk Kesehatan, lanjut Djono.
Lebih lanjut, beliau mengatakan jangankan selisih USD $20, selisih USD $0,5 saja menjadi sangat penting bagi Pakistan. Jadi tidak heran jika harga sangat menentukan kelanjutan Kerjasama impor minyak sawit dari Indonesia.
“jadi memang real analisa dari Ketum Gulat, Pakistan menjadi salah satu contoh bahwa tidak semua negara yang membutuhkan seperti Uni Eropa yang sangat rewel tetapi ternyata negara lain potensial yang siap menerima minyak sawit kita. Kepercayaan dan harga adalah kata kuncinya. Banyak negara-negara lain potensial yang siap menerima minyak sawit kita yang penting harganya cocok, yang penting harganya sesuai standar,” ujar Djono.
Jur: Ningrum
Red: SS06