sawitsetara.co – JAKARTA – Dua puluh dua Dinas Perkebunan provinsi sawit secara rutin melaksanakan rapat penetapan harga TBS (tandan buah segar). Pelaksanaan penetapan harga Disbun tersebut ada yang sekali seminggu dan ada yang sekali sebulan.
Namun banyak sekali petani sawit bertanya. Harga sawit tersebut untuk patokan kepada petani sawit kah ?, atau hanya pajangan saja?
Pertanyaan ini dapat dijawab pada harga TBS Penetapan Dinas Perkebunan Provinsi Riau bersama Tim Penetapan Harga (perwakilan korporasi dan perwakilan petani sawit) telah melaksanakan rapat penetapan harga TBS kelapa sawit mitra plasma dan mitra swadaya untuk minggu ke-40 tahun 2024 yang berlaku pada periode 30 Oktober hingga 5 November 2024.
Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Riau, Dr. Syahrial Abdi, AP.,M.Si, menyampaikan
“Harga TBS petani mitra swadaya umur 9 tahun mengalami kenaikan menjadi Rp 3.453,69/Kg dan petani mitra plasma umur 9 tahun adalah Rp3.417,94/kg TBS” ujar Syahrial Abdi, Selasa (29/10/2024).
Syahrial menambahkan bahwa Indeks K 92,86% akan berlaku selama satu bulan ke depan dan patokan harga CPO adalah Rp 14.353,60/Kg dan harga kernel sebesar Rp 9.997,00/Kg.
Menanggapi pertanyaan yang cukup banyak di media sosial APKASINDO (Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), yang rutin mengupload kondisi harga TBS Penetapan Disbun di 22 Provinsi APKASINDO, KH Suher, Ketua DPW APKASINDO Riau, mengatakan bahwa harga yang diumumkan oleh Disbun tersebut adalah harga di PKS, khusus untuk harga TBS Petani Bermitra, baik itu Mitra Plasma maupun Mitra Swadaya (petani swadaya yang bermitra dengan Pabrik PKS). Perlu dicatat, APKASNDO itu mewadahi dua tipelogi petani sawit (Bermitra dan Swadaya), jadi semua dalam cakupan kajian kami, tegas KH Suher yang juga merupakan petani plasma dan petani swadaya.
“Dari data mingguan DPP APKASINDO, memang tidak satupun PKS Bermitra yang benar-benar patuh kepada harga Penetapan Disbun di 22 Provinsi APKASINDO, tetap saja berfluktuasi, termasuk di Riau” ujar KH Suher.
Namun demikian, petani sawit bermitra (mitra plasma dan mitra swadaya) lebih beruntung karena ada dasar rujukan resmi dari pemerintah (Disbun) perihal harga TBS sehingga turunnyapun gak jauh-jauh.
“Berbeda dengan petani sawit swadaya (mandiri) harga TBS nya hanya merujuk penetapan internal PKS yang bersangkutan dengan rujukan harga CPO domestik harian (harga Bursa CPO Indonesia ICDX dan Harga Tender CPO KPBN), Artinya PKS tersebut menghitung sendiri harga pembelian TBS petani swadaya, makanya dikenal dengan nama PKS Komersil.
“Hasil perhitungan kami, selisih antara harga TBS petani bermitra dengan harga TBS petani swadaya di PKS berkisar antara 10-25%, artinya harga TBS petani swadaya lebih rendah dibeli PKS Komersil dibandingkan PKS Konvensional (PKS Inti Plasma).
Ada yang salah ?, kata KH Suher bertanya kembali. “Tidak, karena PKS Komersil sesuai namanya adalah membeli sesuai perhitungan mereka dan petani bebas menjual kemana dia mau berdasarkan harga yang terbaik menurut petani swadaya (ke PKS langsung atau ke RAM) dan perihal harga TBS Petani Swadaya oleh PKS Komersil ini tidak diatur oleh Permentan 01 tahun 2018” urai KH Suher.
Faktanya, posisi banyaknya jumlah PKS Komersil akan sangat menguntungkan petani sawit swadaya khususnya dan juga kepada petani bermitra, karena akan muncul istilah persaingan sesama PKS dan itu dilindungi oleh UU Persaingan Usaha dan Anti Praktek Monopoli sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1999.
“Maka itulah sejak 3 tahun lalu kami sudah mengajukan permohonan revisi ke Kementan perihal isi Permentan 01 2018, supaya harga TBS petani swadaya juga diatur melalui kemitraan wajib PKS Komersil untuk 20% pasokannya” lanjut KH Suher.
Memang izin pendirian PKS Komersil yang menginduk ke Kementerian Perindustrian tidak mengatur PKS Komersil harus wajib terintegrasi ke Kebun Inti maupun kebun mitra petani, karena frame nya adalah industri, dan saya pastikan tidak ada yang salah dengan izin PKS Komersil, justru menguntungkan semua tipelogi petani sawit, petani swadaya khususnya, apalagi petani swadaya itu secara total nasional perkebunan sawit rakyat 6,87 juta hektar, 93% nya adalah petani sawit swadaya, hanya 7% yang petani sawit bermitra, kata KH Suher.
Namun di Peraturan terbaru yang lebih tinggi dari Peraturan Menteri (Permen) sudah ada aturan yang baru yang memberikan opsi kepada ke PKS komersil bahwa jika tidak memiliki kebun inti 20%, maka dapat melakukan kemitraan ke petani swadaya sebagai pengganti bahan baku minimum 20% tersebut.
“Ini menjadi rujukan kami supaya PKS Komersil yang tidak memiliki kebun inti dapat menggantinya dengan melakukan kemitraan minimum 20% dari kebutuhan bahan baku (TBS) PKS nya, ini cukup adil untuk semua dan saya pikir PKS Komersil akan setuju dengan usulan ini karena faktanya juga selama ini sudah terjalin kok kemitraannya, hanya tidak dibalut oleh regulasi selevel Permentan.
Kepastian ikatan regulasi melalui revisi permentan 01 2018, bahwa PKS Komersil wajib memiliki bahan baku tetap yang 20% dari petani mitra swadaya akan menjadi rujukan nasional tentunya” urai KH Suher.
Dengan menegaskan wajib mitra pasok TBS 20% ini maka akan semakin banyak petani sawit swadaya yang menikmati harga penetapan Disbun, jadi tidak menjadi omongan petani sawit pada umumnya.
Dr. Riyadi Mustofa, SE.,MSi., C.EIA, Anggota Tim Harga Disbun Riau Perwakilan APKASINDO mengatakan “Merujuk ke laporan hasil penelitian LPPM (Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat) Universitas Riau dan PASPI (PalmOil Agribusiness Strategic Policy Institute) kerjasama dengan DPP APKASINDO (2024) yang cakupan risetnya adalah nasional.
Hasil riset untuk wilayah Riau, kata Dr Riyadi, diketahui bahwa PKS di Riau jumlahnya 286, 138 PKS adalah PKS Komersil dan 148 PKS Konvensional. Dari 138 PKS Komersil tersebut hanya 9 PKS (6,52%) yang melakukan kemitraan dengan petani swadaya sebagai mitra pasok TBS, itupun belum sampai 20% dan dari 148 PKS Konvensional baru 21 PKS (14,18%) yang mengikuti rapat harga Disbun itupun baru hanya perwakilan anggota GAPKI saja (Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia)”.
Artinya masih ada 129 PKS Komersil yang berpotensi dimitrakan dengan petani swadaya dan untuk wajib kemitraan petani swadaya 20% ini membutuhkan regulasi yang berkekuatan hukum melalui revisi Permentan 01 2018, kata Dr.Riadi Mustofa yang juga Dosen di Universitas Persada Bunda Indonesia, Riau.
Anggota lainnya dari Tim Harga Disbun Riau perwakilan petani sawit dari APKASINDO, Ir. Kawali Tarigan, lebih tegas lagi mengatakan “Riau masih bersyukur, karena ada Pergubri 77 tahun 2020 yang salah satunya mengatur tentang Petani Mitra Swadaya, tapi itukan hanya berlaku di Riau, maka itu dibutuhkan regulasi yang bersifat nasional.
“Itulah makanya hanya Riau satu-satunya dari 25 Provinsi sawit yang memiliki patokan harga TBS Mitra Swadaya, kami bersyukur di zaman Pak Syamsuar Gubernur Riau hal itu terwujud dan sangat menolong petani swadaya sebagai perbandingan harga TBS swadaya” ujar Tarigan.
Anggota Tim Harga Disbun Riau pewakilan petani sawit APKASINDO lainnya, Dr. Mulono Aprianto, STP.,MP.,C.APO, mengatakan bahwa harga Rp3.453,69 itu hanya berlaku kepada petani sawit mitra swadaya, yang bermitra dengan PKS Komersil dan luasnya juga tidak lebih dari 10 ribu hektar berbanding luas perkebunan petani sawit swadaya di Riau yang mencapai 2 juta hektar lebih (Asumsi Total Perkebunan Sawit Riau menurut KLHK 2020, seluas 4,01 juta hektar).
Dr. Mulono memberikan analisa “Jika aturan wajib bermitra dengan petani swadaya kepada PKS Komersil (PKS yang tidak memiliki kebun inti 20%) ditetapkan oleh Permetan melalui revisi, maka paling tidak secara nasional 1,28 juta hektar kebun petani sawit swadaya (menjadi mitra swadaya) akan mendapatkan harga penetapan Disbun, tentu kesejahteraan petani sawit yang bermitra ini akan terdongkrak signifikan karena harga TBS nya termonitor oleh Disbun Provinsi dan menurut saya itu tidak sulit karena faktanya PKS Komersil juga pada umumnya sudah menjalin kemitraan kok sebagai kepastian pasokan TBS nya dari petani swadaya, hanya tinggal membuat payung regulasinya saja di Permentan”.
Jika Ini dilakukan oleh Menteri Pertanian, melalui Dirjend Perkebunan yang saat ini dijabat oleh Pak Heru, akan menjadi berita baik dan sejarah di Pemerintahan Presiden Prabowo, paling tidak bagi 600 ribu Kepala Keluarga Petani Sawit Swadaya (1,28 juta hektar yang dimitra swadayakan tadi).
Kebijakan ini juga terdampak secara ganda (multiplier effect) kepada harga TBS Petani yang tidak bermitra dan tentunya dampak sosial ekonomi Indonesia secara keseluruhan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8% sebagaimana target Presiden Prabowo akan semakin mungkin digapai tentunya, kata Dr Mulono yang juga Dosen Pascasarjana Universitas Lancang Kuning.