sawitsetara.co -BALI- Berbagai tuduhan negatif kerap dialamatkan kepada kelapa sawit, terutama tuduhan terkait penyebab kerusakan lingkungan dan deforestasi. Eksistensi perkebunan sawit dan produk turunannya juga terus mendapat sorotan miring tak hanya oleh NGO (Non Government Organization), bahkan oleh negara-negera yang ada di belahan Benua Eropa.
“Mengapa hanya sawit yang dituduh merusak? Apakah lahan tanaman minyak nabati lain asalnya bukan dari hutan? Semua tanah di Bumi ini asalnya dari hutan,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Musdhalifah Machmud dalam konferensi pers Sustainable Vegetable Oil Conference di Nusa Dua, Bali, Kamis (3/11/2022).
Menurut Musdhalifah, dari sisi pemanfaatan lahan, tanaman sawit justru paling efektif. Dengan luas lahan sekitar 16 juta hektare, kontribusi sawit Indonesia terhadap produksi minyak nabati dunia adalah 40 persen. Sementara, sekitar 58 persen dari total sawit dunia dihasilkan dari Indonesia.
Untuk mendapatkan jalan keluar dari problematika sawit Indonesia yang tak kunjung mendapatkan kesan baik dari sejumlah negara, pemerintah melalui Kementerian Perekonomian menyelenggarakan Vegetable Oil Conference dengan mengundang para produsen minyak nabati non-sawit, termasuk kedelai, rapeseed dan biji bunga matahari.
“Apa kelebihan mereka? Kenapa mereka tidak ada isu negatifnya. Kita juga harus fair, kalau ada kekurangan akan kita perbaiki,” ucap Musdhalifah.
Penyelenggaraan konferensi juga dimaksudkan untuk menyatukan kekuatan negara-negara produsen dan eksportir minyak nabati di tengah tantangan global di sektor energi yang tengah terjadi. Produksi dan distribusi minyak nabati belakangan menghadapi dua disrupsi besar, pandemi COVID-19 dan konflik Rusia-Ukraina.
Tak hanya soal lingkungan, industri sawit juga mendapat sorotan soal pekerja anak di bawah umur. Untuk hal ini, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, bahwa untuk memasuki pasar yang menerapkan restriksi seperti Uni Eropa, perlu ada upaya agar memenuhi standar negara-negara yang menjadi target pasar.
“Kita ambil sisi positifnya. Kalau kita mau menjadi pelaku utama sawit dunia, kita harus menyiapkan semuanya,” ujar Hariyadi Sukamdani, dalam konferensi pers Indonesia Palm Oil Conference (IPOC) 2022 di Nusa Dua, Bali.
Menurutnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), juga diharapkan bisa menyosialisasikan mengenai operasional bisnisnya dengan baik. Misalnya terkait tuduhan pekerja anak di bawah umur.
“Yang jadi masalah di plasma, kalau inti mungkin bisa dilakukan pengaturan. Sepanjang plasma tak berkaitan dengan industri inti, kita bisa lakukan identifikasi. Jangan sampai produknya masuk ke supplay chain yang ditujukan untuk ekspor,” kata Hariyadi.
Di sisi lain, menurutnya negera luar juga harus realistis dan diberi pemahaman yang benar, karena petani di Indonesia biasa menggarap perkebunan dengan bantuan keluarganya. Itu terkait juga dengan budaya yang selama ini ada di tengah masyarakat Indonesia.
“Hasil dari plasma misalnya, bisa jadi untuk pasar dalam negeri. Kalau customer-nya tidak mau, kita enggak bisa memaksa,” ucapnya.
Indonesia Memperbaiki
Sementara itu, Duta Besar Indonesia untuk Belgia, Luxembourg dan Uni Eropa, Andri Hadi, mengungkapkan, bahwa permintaan pasar ke depannya, tak hanya market, tapi juga memperhatikan generasi masa depan.
Menurut Dubes Andry, Indonesia telah melakukan perbaikan dalam hal deforestasi. Pemerintah sebelumnya mengklaim, Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi dan kebakaran hutan sebesar 82 persen pada 2020. “Kita masih punya beberapa masalah, tapi sudah berada di jalur yang benar,” tambah dia.
Khor Yu Leng, dari Regional Economist Segi Enam Advisors berpendapat, tak hanya kelapa sawit yang mendapat tuntutan harus memenuhi standar yang ketat. Produk lain, misalnya kayu dan produk turunannya juga berlaku hal yang sama. “Negara yang memenuhi standar akan lebih resilient,” kata dia.
Tangkis Tuduhan Sawit
Saat menyampaikan keynote address di acara Sustainable Vegetable Oil Conference di Nusa Dua, Bali, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, bahwa sawit adalah jawaban untuk memenuhi kebutuhan minyak nabati global. Tak hanya murah, jumlahnya pun melimpah. Di sisi lain, kedelai, rapeseed, dan biji bunga matahari stoknya terbatas.
“Meski kita tahu minyak sawit adalah minyak nabati paling efisien dan bisa jadi jawaban dari krisis, sayangkan ada beberapa negara yang menyebutnya paling tidak berkelanjutan,” kata Airlangga. Tuduhan tersebut, menurutnya dilancarkan untuk mendiskriminasi minyak kelapa sawit dari pasar, khususnya Eropa.
Menko Airlangga mengatakan, minyak kelapa sawit justru sangat efisien dalam hal penggunaan lahan. Satu hektare lahan bisa menghasilkan 3 ton minyak per tahun. Minyak sawit, kata dia, juga mendukung Sustainable Development Goals (SDGs) dan memenuhi stadar keberlanjutan. “Dan yang keempat, sawit adalah industri berpusat pada pada rakyat (people centered),” ujarnya.
Jur: Tridara Merninda
Red: Tridara Merninda