BELAJAR dari pengalaman merupakan guru yang terbaik. Kalimat “pengingat” semacam ini, sebaiknya selalu menjadi refrensi kita dalam berkiprah. Rasanya, tidak ada yang lebih berharga selain pengalaman, manakala kita ingin mengukur berhasil atau tidaknya program yang dilakukan. Begitu pun dengan program perhutanan sosial yang selama ini dikembangkan oleh Pemerintah.
Perhutanan sosial adalah program harapan yang disiapkan untuk memartabatkan masyarakat sekitar desa hutan. Pemerintah tahu persis, bagaimana sesungguhnya kondisi obyektif masyarakat desa hutan. Umumnya mereka hidup memprihatinkan dan terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tidak berujung pangkal. Jerat kesengsaraan masih belum mampu terlepas dari kehidupan kesehariannya.
Sudah beberapa tahun program perhutanan sosial digulirkan Pemerintah. Target hingga tahun 2024 agar 12,7 juta hektar dapat “diberikan” kepada masyarakat sekitar desa hutan, kelihatan akan sulit diwujudkan. Sebab, berdasarkan data yang ada, hingga kini baru sekitar 5,5 juta hektar saja yang telah diberikan kepada masyarakat. Hanya dalam kurun waktu 2 tahun lagi, rasanya sulit untuk mengejar target tersebut.
Perhutanan sosial, tentu bukan hanya sekedar mengejar target yang sifatnya kuantitatif. Namun yang lebih penting bagaimana dengan kualitasnya? Apakah lahan yang sudah diberikan kepada masyarakat desa hutan telah digarap dengan baik? Apakah perhutanan sosial telah memiliki grand desain yang utuh, holistik dan komprehensif? Apakah perhutanan sosial telah memiliki simpul koordinasi antar Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah?
Suara sumbang soal perhutanan sosial, kini mulai mengumandang. Ada informasi, program ini lebih mengedepan sebagai programnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bahkan ada yang menuding perhutanan sosial hanya digarap oleh salah satu Direktorat Jendral saja yang ada di Kemen LHK. Ini yang menyedihkan, karena hal tersebut akan berkaitan dengan “mind-set” para pengambil kebijakan program perhutanan sosial itu sendiri.
Perhutanan sosial seharusnya dipersepsikan sebagai program yang sifatnya multi-sektor dan bukan program sektoral. Program multi-sektor sepantasnya digarap oleh berbagai Kementerian/Lembaga yang terlibat dalam program ini, mulai perencanaan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasinya. Program multi-sektor juga butuh sinergitas dan kolaborasi. Lebih jauhnya lagi, program multi-sektor adalah program bersama.
Mengingat perhutanan sosial merupakan program yang sifatnya nasional, dokumen perencanaan program perhutanan sosial, semestinya dilakukan oleh Bapenas bersama-sama dengan Kementerian/Lembaga terkait lainnya. Selain itu, peran Kementerian Dalam Negeri pun menjadi cukup strategis, karena dalam eksekusi di lapangan, program ini akan melibatkan pula Pemerintah Daerah.
Kementerian Dalam Negeri boleh disebut sebagai “atasan”nya Pemerintah Daerah. Fakta memperlihatkan, para Kepala Daerah akan lebih memberi perhatian serius bila ada surat dari Kementerian Dalam Negeri ketimbang surat dari Kemen LHK misalnya. Terlebih-lebih setelah terbit Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerinrahan Daerah. Seorang sahabat memvonis UU ini sebagai UU Sapu Jagat.
Perencanaan yang berkualitas merupakan langkah awal yang perlu jadi perhatian serius, sekiranya program Perhutanan Sosial ingin mewujudkan harapannya. Dengan memposisikan Bapenas sebagai “prime mover” perencanaan, kita berharap agar program perhutanan sosial dapat tertata dengan baik dalam sebuah dokumen perencanaan yang holistik. Salah satu wujud dokumen perencanaan yang populer adalah grand design, master plan, atau rencana besar.
Fakta yang menyatakan program perhutanan sosial tidak dilengkapi dengan grand design yang berkualitas, ada baiknya segera ditinggalkan. Kita harus tegas dan berani menyusunnya agar program tersebut memiliki ukuran dan target yang lebih terukur. Apa yang terjadi di masa lalu, sebaiknya dijadikan kaca untuk bercermin, agar di masa datang, kita tidak mengurangi kekeliruan yang sama.
Babak baru perhutanan sosial memang harus dikumandangkan. Sebagai program yang penuh dengan nilai-nilai kemuliaan, perhutanan sosial perlu dilengkapi dengan road map pencapaiannya. Sebagai program yang sifatnya multi-sektor, dalam desain perencanaan sudah dirancang Kementerian/Lembaga mana saja yang memiliki kehormatan dan tanggung jawab untuk mengawal dan mendampingi program tersebut.
Tantangan lain yang harus kita pikirkan bersama adalah bagaimana “pembinaan” yang sebaiknya dilakukan agar masyarakat yang telah diberi hak untuk mengelola lahan yang telah diterimanya, mampu menggarapnya secara optimal. Masalahnya bakal semakin menjelimet, tatkala diketahui banyak diantara mereka yang tidak memiliki modal kerja untuk mengolah dan mengelola lahan yang telah diterimanya itu. Ujung-ujungnya, lahan yang dikuasainya pun menjadi mubazir.
Dihadapkan pada kondisi yang demikian, dalam mewujudkan babak baru program perhutanan sosial, kelihatannya ada dua tugas penting yang butuh penanganan lebih serius lagi. Pertama, terkait dengan pendampingan, pengawalan, pembinaan dan pengamanan terhadap para petani desa hutan yang telah memperoleh lahan hutan dan kedua adalah sampai sejauh mana kita memiliki kemampuan untuk memenuhi target terselesaikannya 12,7 juta hektar lahan hutan yang harus dibagikan kepada masyarakat.
Babak baru program perhutanan sosial, sepantasnya tetap mengacu kepada dua hal di atas. Penyelesaiannya jelas tidak mungkin hanya akan dijawab oleh Kemen LHK. Sinergi dan kolaborasi, baik ketika penyusunan perencanaan hingga ke tataran pelaksanaan, menjadi kata kunci untuk mensolusikan tantangan yang menghadang. Keterlibatan penta helix juga menjadi kebutuhan yang perlu diprioritaskan pengelolaannya. Begitu pun dengan kehadiran Pemerintah Daerah di lapangan. Kemen LHK tetap jadi “prime mover”nya.
Perhutanan sosial yang selama ini dikembangkan adalah program yang didorong cukup serius oleh Presiden Jokowi. Pasalnya tentu bukan karena Presiden Jokowi adalah seorang rimbawan jebolan Fakultas Kehutanan UGM, namun beliau sangat yakin, program perhutanan sosial bakal mampu merubah potret kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan untuk ke arah yang lebih sejahtera dan bahagia. Betapa salahnya kita, bila niat baik Presiden Jokowi yang demikian, tidak dapat digarap secara sungguh-sungguh.
Penulis : Entang Sastraatmadja (KETUA HARIAN DPD HKTI JAWA BARAT)