sawitsetara.co – JAKARTA – Tingginya harga pupuk di Indonesia menjadi salah satu topik utama yang dipertanyakan oleh pemerintah Swiss kepada petani sawit Indonesia dalam dialog terbatas siang ini (21/11).
Dialog yang digelar oleh Duta Besar Swiss, Olivier Zehnder diadakan khusus karena adanya kunjungan Sekretaris Sekretariat Negara Bidang Ekonomi dan Kepala Direktorat Ketenagakerjaan Swiss, Boris Zurcher dan Kepala Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Swiss, Dominique Paravicini beserta rombongan lainnya untuk membicarakan kelapa sawit Indonesia yang berkelanjutan.
Sebagai pemantau rapat terbatas tersebut juga hadir Norimasa Shimomura dari UNDP (United Nations Development Programme) dan juga dari IDH (The Sustainable Trade Initiative) yang diwakili oleh Fitrian Ardiansyah dan Nassat.
Khusus diundang untuk diskusi ini Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) sebagai perwakilan petani sawit yang dianggap mumpuni menjelaskan hubungan produktivitas, keberlanjutan, dan sarana prasarana sektor hulu kelapa sawit di Indonesia.
Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Ir. Gulat ME Manurung, MP., C.IMA.,C.APO, yang didampingi Departemen Hubungan Luar Negeri DPP APKASINDO, Goldameir Mektania, B.Com, secara langsung hadir dalam diskusi hangat ini.
Dalam kesempatan langka ini, Gulat mengekspresikan terimakasih nya kepada pemerintah Swiss yang mengundang APKASINDO karena hal ini akan membuka ruang komunikasi kepada petani sawit Indonesia.
“Karena kami sangat menginginkan komunikasi dengan teman-teman sesama petani di Swiss tentang bagaimana mereka melakukan dan menjalani “keberlanjutan” dan ini saat yang tepat untuk memulai komunikasi sekaligus juga membangun pertemanan. Tahun 2018 saya memang sudah pernah diutus ke Swiss dan ke Madrid sebagai bagian dari Diplomasi Sawit Indonesia, namun misi yang diusung saat itu berbeda dengan topik saat ini,” kata Gulat dalam pertemuan tersebut.
Mengenai keberlanjutan sawit Indonesia sendiri, Gulat dengan sangat berkelas menjelaskan bahwa Indonesia, terkhusus petani, sudah selesai urusan dengan tuduhan mengenai lingkungan, dalam hal ini termasuk deforestasi.
“Kalau mengenai dampak ekonomi dan sosial, gak perlu lagi dibahas karena dunia mengakuinya, kalau tidak berdampak positif secara ekonomi dan sosial gak mungkin Indonesia begitu cepat bangkit dan berlari keluar dari berbagai persoalan ekonomi dan bencana dunia, seperti yang terakhir ini, yaitu covid-19, disaat banyak negara-negara lain masih tertatih-tatih untuk bisa bangkit,” terang Gulat.
Aspek deforestasi juga sudah clear pasca moratorium digulirkan oleh pemerintah dan ditindak lanjuti dengan lahir nya UUCK tahun 2020 lalu. Karenanya, kalau negara-negara importir CPO (crude palm oil) Indonesia masih mempersoalkan issu deforestasi, itu sudah basi. Justru seharusnya mata dunia harus melihat selisih margin yang di terima sektor hulu yang berbeda jauh dengan sektor hilir.
Gulat menerangkan bahwa pemerintah Indonesia melalui BPDP-KS (Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit), Kementerian Pertanian dan Kementerian Koperasi dengan sekuat tenaga sudah mendorong petani sawit supaya “hijrah” ke sektor hilir. Contohnya dengan memberi kesempatan kepada koperasi perkebunan sawit untuk memproduksi minyak makan merah, membiayai pendirian PKS mini dan membangun pabrik pupuk organik untuk memanfaatkan produk sampingan dari PKS.
“Keberlanjutan itu konsepnya adalah keseimbangan, jadi negara pengimport minyak sawit jangan menutup mata,”ujar Gulat yang juga alumni sekolah Auditor ISPO.
“Kami sekarang udah move on dari lingkungan. Kami lebih fokus kepada peremajaan sawit rakyat (PSR) atau replanting, dimana roh nya adalah intesifikasi. Sehingga kami otomatis menjaga hutan kami yang dunia juga menikmatinya,”lanjut Gulat.
Berdasarkan penelitian, sawit justru lebih banyak menghasilkan Oksigen dan menyerap CO2 karena memang sifat fisiologis tanaman sawit adalah C4 (siklus calvin yang menghasilkan asam berkarbon 4). Tanaman sawit (siklus C4) melakukan proses fotosintesis dengan 2 tahapan, yaitu reaksi terang dan reaksi gelap. Pada proses reaksi terang energi cahaya dikonversikan menjadi energi kimia dan hasil akhirnya oksigen (O2). Kedua, reaksi gelap dimana terjadi reaksi siklus sehingga terbentuk gula dengan bahan dasar CO2 dan energi. Jelas dan mulia sekali tanaman ini, menyerap CO2 dengan sangat efisien (dua kali mengikat) dan menghasilkan O2 siang dan malam.
“Saya sangat tertarik atas pertanyaan Mr Hans Hartmann (Strategy and Organizational Development Senior Advisor, UNIA), yaitu ‘sejauh mana petani sawit bisa tetap berjuang ditengah harga pupuk melonjak tajam, terkhusus pasca perang Rusia-Ukraina’. Dari mimik wajah Mr. Hans, sebenarnya adalah kasian melihat kami petani sawit,” kisah Gulat kepada sawitsetara.
Gulat mengakui bahwa problem terbesar yang dihadapi petani saat ini adalah meroketnya harga pupuk yang dimulai sejak 1,5 tahun lalu dan kami memiliki dana sarpras yang cukup di BPDP-KS, tapi sulit menggapainya karena berbelit-belitnya prosedur yang harus dilewati.
“Kalau pupuk naik mencapai 300% disaat harga CPO dunia juga naik, kami petani sawit tak masalah karena kami sanggup beli. Apalagi negara kami kebetulan sudah tidak memberikan subsidi pupuk untuk petani sawit,” jelas Gulat.
“Namun yang terjadi saat ini adalah pupuk meroket disaat harga TBS (tandan buah segar) kami masih terpuruk sehingga pemupukan dengan pupuk an-organik praktis menurun sampai 70% dikalangan petani swadaya khususnya,” lanjut Gulat.
Saat ini petani hanya berupaya memupuk dengan menggunakan pupuk-pupuk dari produksi sampingan di PKS. Tapi Gulat yakin usaha tersebut tidak akan mampu mengimbangi kebutuhan hara tanaman dan ini akan menjadi masalah besar di 2023 karena produksi CPO dari TBS petani akan menurun signifikan sampai 30%.
“Prediksi kami, sejak Februari tahun 2023, akan terjadi penurunan produksi sawit dari petani sawit hingga 30% karena kami tidak memupuk dengan benar sesuai konsep pemupukan 5T. Dan ini pasti akan menjadi pemicu kembali naiknya harga CPO,” tegas Gulat kepada delegasi Swiss dan tamu lain yang mendengarnya dengan tercengang.
Perlu dicatat bahwa dari total produksi CPO Indonesia, menurut catatan APKASINDO, 26% nya disumbang oleh perkebunan kelapa sawit rakyat. Karenaya, jika PSR berhasil dilaksanakan maka sumbangan CPO dari TBS Petani akan naik minimum 38% dari total produksi CPO Indonesia. Peran petani sawit sangat strategis apalagi dengan moratorium izin kepada korporasi untuk perluasan kebun.
“Jadi Pemerintah Swiss juga harus menjaga produktivitas CPO Indonesia, karena produksi TBS dan CPO Indonesia adalah salah satu kunci penjaga keseimbangan lingkungan,” kata Gulat.
Hal ini disampaikan Gulat agar dapat menjadi salah satu pertimbangan proyek atau bantuan strategis yang direncanakan oleh pemerintah Swiss untuk industri sawit Indonesia terkhusus petani sawit swadaya.
Jur: Goldameir
Red: Maria Pandiangan