sawitsetara.co – JAKARTA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) meminta Kementerian Perdagangan RI untuk mengkaji lagi dengan cara lain tentang kebijakan membatasi ekspor minyak jelantah (Used Cooking Oil/UCO), Limbah Cair Sawit (Palm Oil Mill Effluent/POME), dan residu minyak sawit asam tinggi (High Acid Palm Oil Residue/HAPOR). Kebijakan ini dinilai akan merugikan Indonesia karena mengurangi penerimaan negara dan merugikan petani.
Pernyataan ini disampaikan Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung, MP.,C.IMA.,C.APO melalui video conference, Kamis (9 Januari 2025) di Pekanbaru, Riau. Menurutnya, Kementerian Perdagangan tidak perlu repot-repot untuk membatasi ekspor UCO, POME, dan HAPOR supaya membantu negara dalam meningkatkan pendapatan untuk mendukung program-program strategis Presiden Prabowo.
“Seharusnya yang jadi masalah jika produk CPO Indonesia atau produk sampingannya (residu CPO) gak ada yang beli, baru repot. Ini kok, banyak permintaan dari negara lain malahan dibatasi, paling tidak 160 negara adalah pembutuh minyak sawit Indonesia, Ada apa ini?” tanya Gulat.
Gulat mengatakan tingginya permintaan minyak jelantah (minyak goreng bekas Mak-Mak), POME, dan residu sawit lainnya merupakan peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan penjualan ekspor.
“Kalau ada yang dicurigai eksportir mencampur minyak goreng murni dengan minyak jelantah supaya dikategorikan dalam persetujuan ekspor minyak jelantah, ya kan mudah saja, tinggal diuji setiap mau diekspor apakah benar minyak jelantah atau dicampur dengan minyak goreng murni, kalau memang nakal, ya langsung pidanakan dengan denda berlipat ganda,” kata Gulat.
“Arahan Presiden Prabowo kan jelas kebutuhan CPO domestik untuk mendukung ketersedian minyak goreng rakyat dan mandarory biodiesel, sementara produk residu dan minyak jelantah itu kan produk yang berbeda dengan CPO” kata Gulat.
“Memang berapa kebutuhan domestik terhadap residu sawit dan minyak jelantah tersebut? Apa Indonesia kekurangan? Kalau dalam bentuk CPO, okelah, kita wajibkan hilirisasi dalam negeri dan mendukung program biodisel,” lanjutnya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan RI Budi Santoso menerbitkan pembatasan ekspor ketiga produk tadi melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 26 Tahun 2024 tentang Ketentuan Ekspor Produk Turunan Kelapa Sawit. Permendag Nomor 2 Tahun 2025 yang berlaku pada 8 Januari 2025.
“Menindaklanjuti arahan Presiden, kami menegaskan bahwa prioritas utama pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan bahan baku minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) bagi industri minyak goreng dan mendukung implementasi B40. Tentu akan ada dampak dari kebijakan ini. Namun, sekali lagi kami tegaskan, kepentingan industri dalam negeri adalah yang paling utama,”tutur Menteri Budi Santoso.
Selain itu, peningkatan ekspor POME dan HAPOR juga dapat diakibatkan oleh pengolahan buah dari Tandan Buah Segar (TBS) yang dibusukkan langsung menjadi POME dan HAPOR.
Menurut Menteri Budi Santoso, kondisi tersebut mengarah pada banyaknya TBS yang dialihkan untuk diolah oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) atau dikenal sebagai PKS berondolan. Hal tersebut mengakibatkan PKS konvensional kesulitan mendapatkan TBS.
Terkait statement tersebut, ditanggapi Gulat bahwa bagi petani sawit, mau itu dalam bentuk ekspor residu POME, HAPOR atau UCO harusnya gak masalah.
“Mau itu dengan cara mengolah brondolan untuk asam tinggi itu gak masalah karena menambah pemasukan negara, pemasukan BPDPKS, dan pastinya menguntungkan petani sawit karena ada alternatif pasar bagi petani menjual hasil panennya dan persaingan mendapatkan bahan baku PKS ini akan mendongkrak harga TBS petani,” ujar Doktor Ilmu Lingkungan Sawit alumni Universitas Riau ini.
Kita harus menyadari bahwa hulunisasi kita terlambat, tertinggal dengan berbagai akibat, sehingga tidak sejalan kebutuhan (domestik dan global) yang meningkat dengan produktivitas.”Sesungguhnya ini kesempatan Indonesia, atau tidak akan pernah lagi terulang” kata Gulat.
Gulat berpendapat melorotnya produktivitas sawit indonesia akibat persoalan di sektor hulu yang berkepanjangan dan tidak juga ‘move on’.
Kita jangan membiarkan ini terlampau lama, kita harus berlari untuk mengejar ketertinggalan hulunisasi sebagaimana arahan Bapak Presiden saat Musrembangnas RPJMN 2025-2029 (30/12/2024) yang diselenggarakan Kementerian PPN/BAPPENAS.
“Kemendag itu tugasnya memuluskan proses perdagangan, dan saat ini agak bergeser perannya saya lihat. Sepertinya, Kemendag sudah berubah fungsi,” kata Gulat tersenyum”.
Gulat menegaskan bergesernya peranan Kemendag saat ini memang pilihan sulit karena akan terdampak ke petani sawit sehingga menekan neraca perdagangan ekspor dan yang pasti mengurangi pemasukan negara dari ekspor. Pengetatan ekspor itu sebagaimana dalam Permendag 02/2025, saya lihat melalui proses administrasi yang panjang. Harusnya kontrolnya cukup dengan menaikkan pajak ekspor residu CPO dan UCO, negara pasti menerima pemasukan yang lebih tinggi daripada dengan membuat administrasi persetujuan ekspor yang berliku dan apabila ada yang dapat dilaporkan kepada Aparat Penegak Hukum (APH).
“Kalau Pak Mendag mengatakan bahwa ada modus pengusaha ekspor dengan cara membusukkan TBS sawit menjadi brondolan dan menghasillan CPO asam tinggi untuk non food. Bagi kami petani, yang penting pasarnya ada, bagi kami petani itu adalah peluang sepanjang protas kita tinggi cukup untuk domestik,” kata Gulat.
Namun menurut Gulat, sangat kental juga unsur persaingan usaha antara pabrik sawit CPO dengan pabrik sawit pengolah brondolan dimana pabrik sawit yang mengolah TBS menjadi CPO menjadi kekurangan bahan baku. Kondisi ini disebabkan TBS sawit banyak masuk ke pabrik sawit brondolan.
“Sebagian pabrik sawit yang saya tanyakan, mengakui anjloknya rendemen aktual harian karena brondolan yang rendemennya lebih tinggi dibandingkan janjangan dijual petani sawit (swadaya khususnya) ke pabrik Brondolan semua, apalagi dengan harga fantastis,” tambahnya.
Sebagai penutup, dijelaskan Gulat, petani sawit berpikir sederhana di mana pabrik sawit dengan harga bagus maka disitulah petani menjual hasil panennya khususnya petani sawit swadaya. Sedangkan, beda cerita dengan petani plasma/bermitra yang wajib menjual TBS-nya ke pabrik sawit Inti.