sawitsetara.co – JAKARTA – Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) mengapresiasi kebijakan peningkatan produksi kakao dan kelapa dengan pembentukan Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) melalui Perpres 132/2024. Namun, asosiasi yang menaungi 1 juta lebih petani sawit di Indonesia ini tetap meminta kelapa sawit tidak digabungkan dalam lembaga baru ini. Karena itulah Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sebaiknya tetap berdiri untuk mendanai program sawit termasuk petani secara mandiri untuk kepentingan nasional sebagai komoditi Indonesia.
“Sejak awal konsep menggabungkan sawit ke tanaman perkebunan lainnya sudah tegas ditolak petani sawit, tergesa-gesa dua hari menjelang pergantian Presiden, tanpa kajian mendalam, tanpa melibatkan stakeholder sawit dalam perencanaannya, apalagi dengan blending dana sawit menjadi dana bersama tanaman perkebunan lainnya. Penolakan sawit digabungkan dalam Badan Perkebunan baru yang diatur Perpres 132/2024 merupakan hasil pembahasan Dewan Pakar, Dewan Pembina, 25 Provinsi DPW APKASINDO dan Pengurus Harian DPP APKASINDO. Sebaiknya, lembaga baru ini menaungi khusus kakao dan kelapa saja. Untuk itu, kami petani sawit bermohon kepada Bapak Presiden Prabowo Subianto untuk mencabut Perpres 132/2024, lalu memberlakukan kembali Perpres yang menaungi BPDP-KS,” sebagaimana disampaikan Ketua Umum APKASINDO Dr. Gulat ME Manurung MP, CIMA, CAPO, dalam video yang dipublikasikan di sosial media, Jumat (25 Oktober 2024).
Menurut Gulat, terbitnya Perpres 132/2024 yang menghilangkan peranan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit telah menimbulkan keresahan bagi petani sawit yang sedang mengajukan pendanaan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) khususnya.
Selanjutnya, dikatakan Gulat, dana yang dikumpulkan BPDP-KS bersumber dari pungutan ekspor (levy) sawit dimana petani ikut berkontribusi dalam dana gotong royong tersebut. Dana pungutan bukan diambil dari pajak atau APBN. Dari perhitungan kami, tarif pungutan ekspor CPO sebesar US$62/ton pada September 2024, telah membebani kami petani sawit sebesar Rp 192/kg dengan asumsi rendemen TBS 20% dan per Oktober ini naik lagi, berkurang harga TBS kami petani sawit Rp208/kg TBS.
“Kami petani sawit tidak bermaksud egois atau menginklusifkan sawit, tapi faktanya kami masih terseok-seok butuh perhatian afirmatif melalui dana sawit kami sendiri. Jadi jangan main-main dengan dana sawit tersebut, itu dana keringat petani sawit yang tujuannya untuk menjaga harga TBS melalui serapan CPO Domestik untuk program biodiesel, peningkatan protas melalui PSR, SARPRAS, SDM Petani dan keberlanjutan perkebunan sawit rakyat itu semua sejalan dan paduserasi dengan program strategis Presiden Prabowo-Gibran” tegasnya.
Itulah sebabnya sejak berdirinya BPDP-KS tahun 2015 lalu, kami petani sawit tidak protes ada beban yang mengurangi harga TBS kami, lanjut Gulat Manurung ketika dikonfirmasi langsung sawitindonesia.com.
Gulat menambahkan APKASINDO dalam proses pembahasan uji publik Perpres 132/2024, yang diwakili oleh Sekjen DPP APKASINDO, Dr Rino Afrino, telah dengan tegas menolak sawit berada di bawah Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP), apalagi dengan menggabungkan dana sawit kepada kakao dan kelapa dengan berbagai argumen.
“Kami petani sawit keberatan harus ikut menanggung program kakao dan kelapa untuk alasan apapun itu. Dana pungutan ekspor itu adalah dana gotong royong stakeholder sawit dan kami disana menanggung beban. Dana sawit itu roh nya dari dan untuk sawit. Kami petani sawit masih sangat membutuhkan perhatian serius terkhusus terkait PSR, SARPRAS, SDM dan terakhir ini kami segera akan membutuhkan dana untuk pendirian PKS, Pabrik Mini Migor dan Pabrik Pupuk Organik,”kata Gulat.
Intinya masih cukup banyak persoalan yang kami hadapi dengan segala keterbatasan kami petani sawit, kok malah uang keringat kami mau dibagi-bagi ke komoditi lain, itu dana sawit gak sama dengan pajak yang bisa dicampur dan Perpres tersebut dipastikan menghilangkan DBH sawit karena dana sawit tidak fokus lagi,” tambah ayah dua anak ini.
Saat ini ada 12 ribu anak-anak kami yang bergantung ke dana sawit ini, melalui beasiswa SDM Sawit, tersebar di 23 Kampus dari Aceh sampai Papua.
“Mereka sudah gaduh di medsos-medsos masing-masing kampus dan hampir berputus asa dalam meraih cita-cita sebagai anak petani, anak buruh tani, anak supir truk sawit, anak tukang pungut brondolan, pasca terbitnya Perpres 132 tersebut karena pada pasal terakhirnya (Pasal 33 dan 34) disebut bahwa BPDP-KS secara resmi sudah bubar karena aturan berdirinya sudah dicabut sejak tanggal 18 Oktober 2024,” urainya.
Ditegaskan Gulat, BPDP yang baru dibentuk juga tidak sesuai dengan struktur kabinet Merah Putih. Dalam Perpres 132/2024 dinyatakan Kemenko Perekonomian yang memimpin Komite Pengarah Badan Dana Perkebunan (Komrah), padahal di dalam nomenklatur Kabinet Merah Putih Prabowo, Kemenko Perekonomian tidak lagi menaungi Kementerian Keuangan dan Kementerian Pertanian. Artinya, akan terjadi persoalan kebijakan dan koordinasi apabila Perpres baru Badan Perkebunan tetap berjalan.
“Perpres 132/2024 ini bertabrakan dengan nomenklatur baru Kabinet Merah Putih yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto,” tegas Doktor Lingkungan Universitas Riau.
Masa peralihan BPDP-KS menjadi BPDP dan selanjutnya akan berdampak kepada program petani seperti PSR, SDM petani, beasiswa anak petani, dan sarpras lantaran terjadi ketidaksinkronan antar lembaga/kementerian di dalam Perpres 132/2024 dan dana sawit yang semakin menipis akibat menurunnya kuantitas ekspor CPO dan turunannya akibat meningkatnya serapan domestik (karena BPDP-KS itu beroperasi dari ekspor CPO dan turunannya)
Selama ini program strategis BPDP Kelapa Sawit seperti Peremajaan Sawit Rakyat, Biofuel, dan Beasiswa Anak Petani Sawit sangat relevan dengan program strategis Presiden Prabowo tersebut. “Untuk itu Kami usulkan program kelapa sawit di bawah BPD-KS dijadikan program strategis nasional (PSN) Presiden Prabowo karena berkaitan ketahanan pangan dan energi nasional,” tambah Gulat.
“BPDP-KS jangan dijadikan tumbal atas masih rendahnya serapan dana sawit oleh Petani sawit, itu kendalanya bukan di BPDP-KS, tapi berada di K/L lain yang cukup banyak mencampuri urusan sawit, tercatat oleh kami ada 38 K/L dengan gaya dan aturan masing-masing yang berdampak negatif kepada program BPDP-KS. Jadi seperti ini yang harusnya dibenahi, bukan malah membubarkan BPDP-KS menjadi BPDP,” tegas Gulat.
Gulat mengatakan petani sawit malahan ingin meningkatkan peran strategis BPDP-KS menjadi Badan Sawit Indonesia langsung dibawah Presiden sebagai simpul koordinasinya. Sehingga tidak lagi terjadi kegaduhan terkhsus terkait regulasi K/L negatif kepada sawit sebagaimana sering terjadi beberapa tahun terakhir,” pungkasnya.