sawitsetara.co – JAKARTA – Data Statistik Dunia menunjukkan bahwa 58% Produksi CPO dunia adalah berasal dari Indonesia dan Indonesia adalah negara pengkonsumsi Minyak Sawit terbesar di dunia (PASPI, 2023). Data ini menjadi sangat penting atas sengketa dagang EU dengan Indonesia terkait ke minyak sawit, meskipun itu yang dipermasalahkan sebatas penggunaan minyak sawit untuk sumber energi.
Faktanya, Indonesia memenangkan gugatan terhadap Uni Eropa (UE) di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization (WTO) dan berhasil membuktikan adanya tindakan diskriminatif UE terhadap produk minyak sawit dan biofuel berbasis tanaman sawit RI dibandingkan produk serupa dari Uni Eropa, seperti rapeseed, Kedelai dan bunga matahari.
Uni Eropa juga membedakan perlakuan dengan memberikan keuntungan lebih kepada produk sejenis yang diimpor dari negara lain sebagai bahan dasar biofuel.
Kemenangan ini disebut Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO), Dr. Gulat ME Manurung, M.P.,C.IMA, bukan hanya kemenangan biodiesel RI atas Uni Eropa saja, namun juga kemenangan produk biodiesel dunia untuk keadilan.
Dimana kemenangan gugatan terkait penggunaan minyak sawit untuk energi (biodiesel) ini penting untuk meluruskan isu lingkungan yang memasukkan minyak sawit sebagai produk dari alih fungsi lahan berisiko tinggi atau high ILUC (Indirect Land use Change)-risk.
“Yang ada sebenarnya bahwa Minyak Sawit Beresiko Tinggi Menggantikan Minyak Nabati Uni Eropa”, kata Gulat kepada sawitsetara.co.
APKASINDO menilai diskriminasi EU atas biodiesel sawit tidak lepas dari persaingan dagang dengan mengatasnamakan lingkungan. Dimana diketahui beberapa anggota EU yang berjumlah 27 negara adalah juga memproduksi tanaman penghasil minyak nabati selain sawit.
“Andai sawit bisa tumbuh di Eropa, tentu mereka akan mengatakan sebaliknya. Intinya EU tidak dapat membuktikan sawit tanaman beresiko tinggi terhadap lingkungan” kata Gulat.
Kemudian Gulat mengatakan ini adalah momentum kepada semua negara-negara yang sedang berkembang ketika melakukan sangketa atau perdebatan dengan seperti Uni Eropa terkait sumberdaya alam, kata Gulat.
“Sebelumnya kami sangat menyakini, Indonesia pasti menang. Hal ini bermula ketika Duta Besar Uni Eropa yang membawahi 27 negara melakukan kunjungan kerja ke kantor Pusat DPP APKASINDO di Jakarta. Dari pertemuan tersebut ada hal yang menarik, dimana yang hanya mereka persoalkan itu adalah hanya minyak sawit jika digunakan sebagai sumber energi, kalau untuk konsumsi food atau makanan mereka tidak mempermasalahkan, itu clear. Kan sangat aneh. Ini kunci rahasianya” kata Gulat.
Lalu Gulat menjelaskan kenapa mereka mempermasalahkan tersebut ? karena negara-negara anggota EU juga memproduksi biodiesel dari tanaman yang mereka hasilkan dan EU sudah melakukannya jauh-jauh sebelumnya.
“Ini adalah rahasia kecilnya dan EU tidak bisa membuktikan tuduhannya di WTO” tutur Gulat.
Implikasinya kepada dunia adalah jangan ada lagi diskriminasi kepada sawit, tegas Gulat.
Lalu apa implikasinya buat Indonesia?Gulat mengatakan pada acara Live di CNBC TV Squawk Box yang membahas tentang Dampak Indonesia Menang Melawan EU di WTO, bahwa “Ini Momentum Indonesia untuk mengevaluasi semua kebijakan atau regulasi terkait sawit. Jangan pulak dunia melalui WTO sudah clear, malah kita yang masih berkepanjangan berdebat tak berkesudahan, jadinya Perdebatannya yang berkelanjutan” ujar Gulat.
Adapun bentuk nyata implikasi tersebut bagi Indonesia adalah, Indonesia harus melakukan antara lain, yang pertama, menyelesaikan tentang klaim kawasan hutan yang tidak lagi berhutan, karena sepanjang Indonesia tidak menyelesaikan itu maka akan muncul gugat-gugatan baru dengan model modus yang berbeda. Kita harus move on dan melihat kembali roh undang-undang cipta kerja terkait prosedurnya dan hasil kerja Satgas Sawit yang saat itu dipimpin oleh Pak Luhut Panjaitan yang sudah mempaduserasikan data hampir 85% permasalahan yang ada. Bagi korporasi yang sudah terbit pasal denda nya, tentunya segera menyelesaikan karena memang negara juga butuh dana denda tersebut,” kata Gulat.
“Yang kedua adalah semua regulasi yang negatif terhadap sawit harus segera dikoreksi melalui perbaikan-perbaikan,” ucap Gulat.
Kemudian yang ketiga, segera membentuk Badan Otoritas Sawit Indonesia (BOSI) atau sejenis yang langsung dibawah Presiden.
“Dengan Badan ini hanya satu yang mengurusi sawit dari sektor hulu, hilir sampai ke turunannya, termasuk urusan pajak, bursa CPO, wali data dan perizinan lainnya,termasuk sebagai ‘wasit’. Perlu diketahui, saat ini ada 37 Kementerian dan Lembaga yang nyampur urusin sawit. Contohnya saja perihal izin mendirikan PKS, sebagian bisa di Kemenperin, dan sebagian PKS juga bisa di Kementan”, urai Gulat lebih lanjut.
Dengan Badan ini saya meyakini, negara akan sangat diuntungkan dari segi pemasukan negara yang berlipat ganda, karena semua terdata dalam satu rumah(wali data) dan tidak akan ada lagi yang berani macam-macam.
Demikian juga kepada stakeholder sawit, akan lebih semangat dalam melakukan aktivitasnya dan perekonomian Indonesia akan terdorong lebih baik sebagai impac nya.
Kita tidak perlu lagi saling menyalahkan, Sawit adalah impian paling tidak 160 negara pembutuh minyak sawit dan Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia.
“Tentu wajar saja ada kecemburuan lintas negara dengan berbagai model saling sikut dan Indonesia tidak boleh kalah dengan itu” ujar Gulat lagi.
Apalagi Presiden Prabowo sudah menegaskan bahwa Sawit Adalah Asset Indonesia yang harus dijaga semua pihak dan Indonesia negara paling terdepan dalam menerapkan green energy” kata Gulat dalam ulasannya.
“Kita percayakan kejayaan Sawit Indonesia dibawah Kepemimpinan Presiden Prabowo dan Asta Cita nyata mengayominya”, pungkas Gulat.