sawitsetara.co – JAKARTA – Persoalan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) masih saja mengalami banyak kendala dari lintas sektoral, terutama tentang tambahan regulasi dari masing-masing kementerian atau departemen terkait sehingga memperlambat proses.
Adanya penambahan sejumlah persyaratan untuk pengajuan program PSR menjadi faktor penyebab minimnya capaian program peremajaan sawit rakyat (PSR) di tahun 2022.
Bulan Februari 2022, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perkebunan (DIrjebun) mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03 Tahun 2022 (Pemerntan 03/2022) yang menambahkan persyaratan pada semua pengajuan PSR yakni surat keterangan lahan bebas dari kawasan lindung gambut.
Hal ini dikeluhkan oleh semua petani Indonesia, lantaran peraturan baru diterapkan juga terhadap berkas pengajuan yang tengah diproses sehingga memperlambat semua pengajuan. Juga karena dinilai tidak berkeadilan karena banyak provinsi sentra sawit Indonesia berada di area gambut seperti Riau dan Kalimantan Tengah.
Sebagaimana dikemukakan Dinas Perkebunan Riau melalui Kepala Bidang Produksi, Vera Virgianti, yang dilansir dari mediacenter Riau. “Cuma persyaratannya ada ditambah, yang mengeluarkan itu dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal di Riau lahan gambutnya cukup banyak, sehingga permohonannya tidak bisa dilanjutkan”.
Kemudian pada bulan Oktober 2022, Kementerian ATR/BPN turut mengeluarkan tambahan peraturan melalui Surat Edaran Nomor 396/SE-300.UK/X/2022 (SE 396/2022) tentang Permohonan Dukungan Fasilitasi Kepada Unit Kerja Di Bidang Pertanahan Daerah Dalam Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Dalam SE 396/2022 meminta petani atau pengusul PSR untuk mengurus Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) sesuai prosedur yang baru melalui aplikasi tersendiri milik ATR/BPN.
Dengan mengisi aplikasi ini, petani diminta memastikan bahwa lahan kebun mereka tidak tumpeng tindih dan memiliki sertifikasi tanah yang dikeluarkan oleh ATR/BPN.
Kembali, SE 396/2022 ini tidak melalui sosialisasi terhadap petani atau bahkan kelompok tani yang tengah mengajukan atau dalam proses pengajuan PSR.
Bahkan kebanyakan petani mengaku baru mengetahui mengenai peraturan ini lantaran menanyakan status pengajuan PSR mereka ke Dinas ATR/BPN di daerahnya, dimana pertanyaan mereka dijawab dengan surat yang malah meminta petani melengkapi peraturan tambahan ini.
Seperti yang kisahkan Achmad Nasir selaku anggota koperasi yang mengajukan PSR di Tana Paser.
“Gara – gara aturan yang kayak begini, sudah 5 koperasi yang mandeg usulannya,” curhat Naser di group diskusi PSR melalui platform chat.
Lebih menarik, ketika tim sawitsetara mencoba menelusuri aplikasi yang diarahkan oleh SE396/2022 tersebut, yakni https://loketku.atrbpn.go.id , ternyata cukup membingungkan karena tidak ada informasi langkah-lankah yang jelas.
Dengan peraturan berlapis dari lintas sectoral ini, tidak heran serapan PSR di sentra provinsi sawit tahun 2022 tercatat sebagai yang terendah.
Bahkan dilansir dari mediacenter Riau, untuk provinsi Riau sendiri belum dapat kuota PSR untuk tahun 2023, dikarenakan tidak ada serapan pada tahun lalu sebagai dampak peraturan yang semakin bertambah dan bukan mempermudah.
Benarhkan persyaratan tambahan ini dibuat untuk mempermudah proses PSR? Akankah PSR tahun di tahun 2023 ini mengalami nasib yang sama?
Jur: Tridara/Golda
Red: Maria Pandiangan